Minggu, 12 Februari 2012

laporan praktek ekologi hutan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Peninjauan Struktur dan  Komposisi hutan  adalah salah satu cara mengetahui apakah kondisi suatu tegakan hutan  apakah baik atau tidak   baik  ,dengan  mengetahui dan  mencatat serta  mengamati  langsung kondisi tegakan dan komposisi tegakan hutan memungkinkan untuk menilai seberapa besar kekayaan ekologi hutan tersebut. Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutup pohon yang kurang lebih rapat dan luas (ford-robinson, 1971). Dangler (1944) menunjukkan bahwa kumpulan pohon disebut hutan hanya bila cukup rapat menutup areal yang cukup luas untuk menimbun suatu kondisi iklim dan ekologi yang berbeda dengan kondisi luarnya.
Tujuan pengelolaan hutan telah berubah dengan

meluasnya kepentingan hutan dan lahan liar. Tidak saja produksi kayu, hutan dan lahanliar menghasilkan kayu, air, ikan , binatang buruan, ternak dan rekreasi. Berbagai penggunaan ini mengharuskan penentuan sampai sejauh mana penggunaan dan fungsi tunggal atau ganda dan apakah kombinasi tersebut selaras  satu sama lain atau tidak.
Pemilihan perlakuan silvikultur selalu terkendala oleh pertimbangan-pertimbangan ekologi, pengelolaan dan sosial. Kendala ekologi meliputi kualitas tempat tumbh, vegetasi dan lingkungan makro.
Sifat agregasi vegetasi yang telah ada pada setiap tegakan harus diperhitungkan dan dijadikan modal. Terdapatnya genotype tertentu dan cirri fisiologi relative seperti toleransi, pertumbuhan pohon dan kerapatan tegakan yang mempengaruhi pemilihan perlakuan silvikultur.
Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dalam beberapa kurun waktu terakhir tidak terlepas dari proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri. Selama ini pengelolaan sumberdaya hutan yang dikelola oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam terus berjalan meskipun dibawah tekanan sosial ekonomi yang tidak menguntungkan.
Lahan kritis merupakan salah satu dampak dari pengelolaan hutan yang kurang baik sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas secara drastis dan apabila tidak dilakukan penanganan secara cepat, maka dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem.
Untuk penanggulangan masalah tersebut maka perlu dilakukan upaya pelestarian dengan cara memelihara kesuburan tanah, baik fisik, kimia, maupun biologi dengan melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilakukan secara intensif melalui kegiatan penghijauan dan penanaman pohon yang sesuai dengan peruntukan lahannya dan pembinaan daerah penyangga yang berbasis ekonomi dan konservasi.
Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan harus terus berlanjut karena laju pengerusakan sekarang lebih cepat dibandingkan keberhasilan upaya pemulihan. Upaya rehabilitasi pada hutan dan lahan tersebut harus melibatkan masyarakat secara sadar dengan pendekatan partisipatif.

B.    Tujuan Praktek
Adapun tujuan dari praktikum  Ekologi Hutan ini adalah
1.    Untuk mengaplikasikan  ilmu teori Ekologi Hutan di lapangan
2.    Untuk menganalisa vegetasi, yaitu vegetasi hutan tingkat pohon dan permudaan alam di kawasan hutan di bukit loncet desa Anjungan.

C.    Manfaat Praktek
Dari hasil praktikum lapangan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang vegetasi hutan tingkat pohon dan permudaan alam di kawasan hutan di bukit loncet desa Anjungan, yang nantinya dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan tersebut

D.    Lokasi dan Waktu Praktek
Tempat    :    Bukit Loncet , Anjungan
Hari/tanggal    :     Sabtu/27  Maret 2009
Waktu    :    08.00– selesai


E.    Prosedur kerja
1.    Membuat garis kompas sepanjang 200m dari starting point kearah 240. Sepanjang garis kompas, dibuat petak pengamatan berukuran 20x20 m secara kontinyu.
2.    Pada petak berukuran  20x20 m dibuat lagi petak dengan ukuran 10x10 m, 5x5 m dan 2x2 m.
3.    Pada tiap-tiap petak pengamatan tersebut, dicatat jenis pohon, jumlah dan diameter serta tinggi pohon dan letaknya yang terdapat di dalam masing-masing petak pengamatan, kemudian dimasukkan ke dalam tabel hasil pengamatan.
Pengamatan dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan suatu vegetasi yang dikelompokkan ke dalam :
1.    Tingkat Semai (seedling), yaitu sejak perkecambahan sampai tinggi 1,5 meter;
2.    Tingkat Sapihan atau Pancang (sapling) yaitu tingkat pertumbuhan permudaan yang mencapai tinggi antara 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.
3.    Tingkat Tiang (poles) atau pohon kecil yaitu tingkat pertumbuhan pohon muda yang berukuran dengan diameter batang antara 10 - 19 cm (dbh).
4.    Pohon (Trees) yaitu tingkat pohon-pohon yang berdiameter batang diatas 20 cm dbh.














F.    Tinjauan Pustaka
1.    Hutan
Pengertian hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous 1997). Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Menurut Marsono (2004) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
a.    Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim, seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.
b.    Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.

Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de facto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite.
Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Marsono, 1997).
Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Sanchez memperkirakan bahwa 80% aktivitas biologis tersebut terdapat pada top soil saja. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun tempat tumbuhnya (Marsono, 1991).
2.    Analisa Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).
Vegetasi, tanah dan  iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.
Analisa vegetasi adalah cara mempelajari struktur atau penyebaran dan komposisi atau susunan jenis vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan dan satuan yang akan diselidiki tegakan hutan yang merupakan asosiasi yang kongkrit (Soerianegara 1988). Selanjutnya Warasito (1986) dalam Kurnilawati (1999) mengatakan bahwa informasi mengenai komposisi jenis dan bentuk vegetasi ini diperlukan untuk mengambil keputusan dalam melakukan kegiatan-kegiatan berikutnya dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang baru saja dilalui. Oleh karena itu suatu tindakan analisa vegetasi perlu diulangi pada waktu-waktu tertentu dan juga dilakukan sewaktu-waktu diperlukan.
Analisa vegetasi dilaksanakan dalam penelitian ekologi untuk memperoleh informasi-informasi yang meliputi :
a.    Keadaan hutan itu sendiri seperti luas areal, jenis dan komposisi, keliling/diameter pohon, keadaan pertumbuhan dan keadaan tumbuhan bawah.
b.    Keadaan lapangan dan tanah dimana hutan itu tumbuh seperi topografi, jenis dan sifat tanah serta geologi.
c.    Keterangan-keterangan lain mengenai keadaan transfortasi, sosial ekonomi masyarakat disekitar hutan, iklim dan lain-lain.
Informasi yang telah diperoleh tersebut dijadikan pertimbangan untuk membuat kebijaksanaan, melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan sumber daya alam dalam rangka pemanfaatan secara optimum dan lestari (Warsito, 1986).
Untuk keperluan analisa vegetasi perlu dibedakan tingkatan pertumbuhan tanaman menurut Kusmana (1995) adalah sebagai berikut :
a.    Tingkat semai (seedling) yaitu tumbuhan dari mulai kecambah sampai tinggi 1,5 meter.
b.    Tingkat pancang (sapling) yaitu permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 meter, dengan diameter tumbuhan kurang dari 10 cm.
c.    Tingkat tiang (pole) yaitu pohon muda yang memiliki diameter pohon 10 – 20 cm.
d.    Pohon dewasa (tree) yaitu pohon yang memiliki diameter lebih dari 20 cm.
3.    Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman  jenis adalah ukuran yang menyatakan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari masing-masing jenis. Didaerah tropika basah memiliki keanekaragaman jenis-jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang tinggi, karena pada daerah ini memiliki iklim dan kondisi geografis khusus yaitu adanya musim kemarau dan musim penghujan, namun jumlah individu tiap jenisnya rendah (Haryanto 1983).
Jumlah jenis disuatu daerah ditentukan oleh kecepatan kepunahan jenis dan kecepatan imigrasi  atau masuknya jenis kedalam daerah tersebut. Pengamatan kita menunjukkan jumlah poho jenis tertentu per hektar tidaklah banyak. Karena itu dalam hutan yang besar jumlah jenisnya, terdapat rata-rata jumlah individu yang rendah pada masing-masing jenis, (Soemarwoto 1997)
Menurut Michael (1996) komunitas yang mengalami situasi lingkungan yang keras cenderung terdiri atas sejumlah kecil jenis yang berlimpah. Dalam lingkungan yang lunak, jumlah jenis besar, namun tidak satupun yang berlimpah. Keragaman jenis dapat diambil untuk menandai jumlah jenis dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah jenis yang ada. Jumlah jenis dalam suatu komunitas sangat penting dari segi ekologi karena keragaman jenis tampaknya bertambah bila komunitas menjadi semakin stabil. Gangguan yang parah menyebabkan penurunan yang nyata dalam keragaman. Keragaman yang besar juga mencirikan ketersediaan sejumlah besar ceruk.
Alikodra (1990) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis dapat ditemukan pada keanekaragaman hayati, yaitu merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya berbagai macam  variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan  makhluk yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan tingkatan genetika.
Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia, jauh lebih tinggi dari pada Amerika dan Afrika tropis, apalagi bila dibandingkan dengan daerah beriklim sedang dan dingin. Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia secara keseluruhan ditaksir 25.000 jenis, dan 40 % dari jenis-jenis tersebut merupakan jenis endemik atau jenis yang hanya terdapat di Indonesia dan tidak dijumpai didaerah lain didunia (Resosoedarmo 1989).

4.    Line-intercept


Gambar 1.1  Cara Garis Berpetak
Metode ini khusus digunakan oleh para ahli ekologi tumbuhan (plant ecologist).Data ditabulasi atas dasar tumbuhan tumbuhan yang dilalui oleh garis lurus memotong komunitas yang dipelajari dan karena luasan areal tidak merupakan unit contoh ,hanya density dan relatif density yang diperhitungkan .Metode line-intercept transect telah dipergunakan secara luas untuk memepelajari komunitas padang rumput sebagai penduga yang tepat dari absolute density yang tidak dapat dibuat atau karena sulit di interpretasikan disebabkan perbedaan anatara individu tanaman.Dalam kasus bahwa pendugaan relatif sudah dianggap cukup ,line intercept transect dapat dipergunakan secara efesient untuk memperoleh nilainya.Pda metode Line-Intercept,kemungkinan suatu spesies dijadikan sampel tergantung pada ukuran tumbuhan. Tumbuhan dengan ukuran besar tetapi jarang akan lebih mudah dideteksi dari pada tumbuhan kecil tetapi jarang terdapt.Spesies yang besar dan rapat dapat juga mempengaruhi pendugaan frekuensi .Unuk menentukan panjang interval dan jumlah garis liniernya (transek) yang diingankan sama dengan menentukan ukuran plot dan jumlah plotnya.
5.    Kerapatan (density)
Di dalam studi populasi ekologi ,jumlah individu merupakan informasi yang mendasar .Kepadatan /banyaknya (Abundance) (N) adalah jumlah individu pada suatu  luasan area tertentu ,sedangkan kerapatan (density) (D)  jumlah individu per unit area atau per unit volume.Sebagai contoh ,sebuah spesies mungkin mempunyai kepadatan/banyaknya (Abundance) sebanyak 100 individu pada suatu areal tertentu .Apabila total luas area tersebut adalah 2,5 ha ,maka kerapatan (density) daripada spesies ini adalah 40 per ha (40/ha).

6.    Frekuensi ( Frequency)
Frekuensi (f) adalah jumlah waktu kejadian tertentu yang berlangsung .Dengan demikian ahli ekologi dapat mempergunakan satuan frekuensi ini untuk mengukur temperatur air,atau frekuensi binatang makan.Di bnayak studi,istilah frekuensi diartikan jumlah sample dimana suatu   sample dimana suatu spesies ditemukan.
Menurut Soerianegara (1988) Frekuensi adalah perbandingan banyaknya oetak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak seluruhnya,biasanya dinyatakan dalam persen.Frekuensi merupakan ukuran uniformalitas dan regularitas terdapatnya jenis tersebut dalam tegakan.












BAB II
METODE PRAKTEK
a.    Metode Praktek
Metoda yang digunakan  adalah Metode Garis Berpetak sehingga di dalam jalur-jalur tersebut dibuat petak-petak ukur. Luas petak ukur untuk masing-masing tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut :
1.    Semai (Seedlings) dengan ukuran petak 2 x 2 m
2.    Sapihan atau Pancang (Saplings) dengan ukuran petak 5 x 5 m
3.    Tiang (Poles) atau pohon kecil dengan ukuran petak 10 x 10 m
4.    Pohon (Trees) dengan ukuran petak 20 x 20 m
Petak ukur yang dibuat untuk menghitung kerapatan, frekwensi dan dominansi vegetasi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Petak Ukur Untuk Pengamatan Vegetasi

b.    Alat dan Bahan
1.    Alat tulis, digunakan untuk menulis
2.    Buku dengan tally sheet, untuk mencatat hasil
3.    Kompas, menentukan arah
4.    Phiben, untuk pengukuran diameter tegakan
5.    Parang, untuk merintis jalan
6.    Kayu ajir, membantu dalam pengompasan
7.    Tali rapia, untuk membuat petak semai, pancang dan tiang dan membantu dalam menentukan panjang jalur.
c.    Organisasi
Jabatan     :    Tugas
Ketua TIM    :    Mengkoordinir anggota-anggotanya sesuai arahan kerja praktek
Pencatat Data    :    Mencatat semua hasil pengamatan,pengukuran di Lapangan
Pengukur diameter    :    Mengukur diameter
Kompasman    :    Menunjukkan,menetapkan arah azimuth,starting point
Pembuat petak ukur     :    Menyiapkan dan bekerja membuat petak ukur yang telah di tetapkan
Pengukur ketinggian     :    Mengukur ketinggian dengan tongkat ukur






















BAB III
HASIL PRAKTEK EKOLOGI  HUTAN

A.    Analisis Data
Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui kerapatan jenis, kerapatan relatif, dominansi jenis, dominansi relatif, frekuensi jenis dan frekuensi relatif serta Indeks Nilai Penting menggunakan rumus Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) sebagai berikut :
1.    Kerapatan
Kerapatan =
2.    Kerapatan Relatif
Kerapatan relatif =
3.    Frekuensi
Frekuensi =
4.    Frekuensi Relatif
Frekuensi relatif =
5.    Dominansi
Dominansi =
6.    Dominansi Relatif
Dominansi relatif =
7.    Nilai Penting
Nilai Penting = Kerapatan relatif +Frekuensi relatif + Dominansi relatif



B.    Tabel Data
1.    Tingkat Semai
No    Jenis    Jumlah    Petak
1.        Kelampai    40    5
2.        Pohon akar    19    2
3.        Medang    29    6
4.        Kayu malam    17    4
5.        Eugenia    2    2
6.        Ubah    4    1
Jumlah    111  

2.    Tingkat Pancang
No    Jenis    Jumlah    Petak
7.        Medang    14    5
8.        Matoa    3    2
9.        kelampai    4    2
10.        Eugenia    6    5
11.        Kayu malam    6    3
12.        Ubah    2    2
Jumlah    35  

3.    Tingkat Tiang
No    Jenis    Jumlah    Petak
13.        Medang    10    6
14.        Kelampai     4    3
15.        Ubah    5    3
16.        Eugenia    1    1
17.        Kayu malam    1    1
Jumlah    21  

4.    Tingkat Pohon
No    Jenis    Jumlah    Petak
18.        medang     15    8
19.        keruing    4    2
20.        kelampai    8    6
21.        eugenia    1    1
22.        kayu malam    2    2
23.        ubah    7    5
Jumlah    37  


C.    Hasil Perhitungan
a.    Tingkat Semai
No    Jenis    K    KR    F    FR    INP
1.        Kelampai    100    36,04    0,5    25,00    61,04
2.        Pohon akar    48    17,12    0,2    10,00    27,12
3.        Medang    73    26,13    0,6    30,00    56,13
4.        Kayu malam    43    15,32    0,4    20,00    35,32
5.        Eugenia    5    1,80    0,2    10,00    11,80
6.        Ubah    10    3,60    0,1    5,00    8,60
Jumlah    278    100,00    2    100,00    200,00

b.    Tingkat Pancang
No    Jenis    K    KR    F    FR    INP
7.        Medang    35    40,0000    0,5    26,3158    109,3492
8.        Matoa    8    8,5714    0,2    10,5263    21,9566
9.        kelampai    10    11,4286    0,2    10,5263    33,3302
10.        Eugenia    15    17,1429    0,5    26,3158    58,3548
11.        Kayu malam    15    17,1429    0,3    15,7895    50,3864
12.        Ubah    5    5,7143    0,2    10,5263    26,6228
Jumlah    88    100,0000    1,9    100    300

c.    Tingkat Tiang
No    Jenis    K    KR    F    FR    INP
13.        Medang    25    47,62    0,6    42,8571    129,4537
14.        Kelampai     10    19,05    0,3    21,4286    58,0133
15.        Ubah    13    23,81    0,3    21,4286    60,7961
16.        Eugenia    3    4,76    0,1    7,1429    18,1170
17.        Kayu malam    3    4,76    0,1    7,1429    33,6200
Jumlah    53    100,00    1,4    100    300

d.    Tingkat Pohon
No    Jenis    K    KR    F    FR    INP
18.        medang     38    41    0,8    33,3333    99,5152
19.        keruing    10    11    0,2    8,3333    25,8451
20.        kelampai    20    22    0,6    25,0000    55,8229
21.        eugenia    3    3    0,1    4,1667    18,5009
22.        kayu malam    5    5    0,2    8,3333    39,6453
23.        ubah    18    19    0,5    20,8333    60,6707
Jumlah    93    100    2,4    100    300


D.    . Pembahasan Data
Kegiatan praktek lapangan materi kuliah Ekologi Hutan di Desa Anjungan, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam bidang Inventarisasi Hutan
Meskipun hutan yang digunakan sebagai lokasi praktek sebagian telah dibuka untuk ladang pertanian penduduk (masyarakat) namun berdasarkan hasil pengolahan data lapangan  menunjukan bahwa kondisi hutan di lokasi praktek tersebut sebagian besar masih cukup baik dengan potensi rata-rata per hektar mencapai kurang lebih 127,6846 m3/hektar,
Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan jenis yang paling tinggi tingkat kerapatan relatifnya, Frekuensi relatifnya, Dominansi relatifnya serta INP nya adalah sebagai berikut :
•    Tingkat Semai dengan nilai kerapatan relatifnya paling tinggi yaitu jenis Kelampai sebesar 36,04 %, nilai Frekuensi relatifnya paling tinggi yaitu jenis Kelampai sebesar25%, dan nilai INP paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 61,04%
•    Tingkat Pancang dengan nilai kerapatan relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 35 %, nilai Frekuensi relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 40%, dan nilai INP paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 109,3492 %.
•    Tingkat Tiang dengan nilai kerapatan relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 25%, nilai Frekuensi relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang  sebesar 47,62%, nilai indeks Dominansi paling tinggi yaitu jenis Medang  sebesar 21,43%, dan nilai INP paling tinggi yaitu jenis Medang  sebesar 129,45%.
•    Tingkat Pohon dengan nilai kerapatan relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 38%, nilai Frekuensi relatifnya paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 41%, nilai indeks Dominansi  paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 15,77%, dan nilai INP paling tinggi yaitu jenis Medang sebesar 99,52%

BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.    Secara geografis Hutan Adat Benua, Desa Peladis , Kecamatan Anjungan, , Provinsi Kalimantan Barat, terletak pada 00 2’ Lintang Utara sampai 00 00’ Lintang Selatan, serta antara 1090 50’ Bujur Barat sampai 1090 52’ Bujur Timur. Luas Kawasan Hutan Adat Benua adalah 192,7 Ha terletak pada ketinggian 30 sampai 100 m dpl.
2.    Metoda yang digunakan dalam praktek lapangan ini adalah adalah  Metode Garis Berpetak dimana jalur-jalur tersebut dibuat petak-petak ukur. Luas petak ukur untuk masing-masing tingkat pertumbuhan adalah pada tingkat Semai (Seedlings) dengan  ukuran petak 2 x 2 m, Sapihan atau Pancang (Saplings) dengan ukuran petak 5 x 5 m, Tiang (Poles) atau pohon kecil dengan ukuran petak 10 x 10 m, Pohon (Trees) dengan ukuran petak 20 x 20 m
3.    Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan  menunjukan bahwa kondisi hutan di lokasi praktek tersebut sebagian besar masih cukup baik.
4.    Jenis yang paling tinggi populasinya pada Petak Ukur 5 (lima) dilihat dari kerapatan relatifnya, Frekuensi relatifnya, indeks Dominansi  serta INP nya adalah jenis Medang.
5.    Daerah hutan tempat petak ukur 5(lima)  tempat kami praktikum  keanekaragamannya rendah karena hanya beberapa saja yang dominasinya tinggi

B.    Saran
Dalam kegiatan  praktikum Ekologi Hutan dengan panjang  jalur yang seharusnya 200m memerlukan waktu yang cukup lama agar survey dapat dilakukan dengan detail dan tidak asal-asalan. Sehingga dengan keterbatasan tenaga, jalur 200m yang seharusnya dapat didata tidak dapat dilakukan dengan optimal.






DAFTAR PUSTAKA
Budhi, Setia. 2009. Bahan Kuliah Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Budhi, Setia. 2009. Penuntun Praktikum  Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak
Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Tesis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Jihadi ,M Amril, 2000, Studi Jenis-Jenis Permudaan Alam Diareal Bekas Tempat Pengumpulan Kayu (Tpn) Pada Berbagai Tingkat Umur Di Hph Pt. Barito Pacipic Timber (Unit I) Kecamatan Ambalau Kabupaten Sintang. Skripsi Fakultas Kehutanan  Universitas Tanjungpura, Pontianak. Tidak dipublikasikan
Latifah, Siti. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.
Rahayu, S, 1991, Analisa Permudaan Hutan Alam Menurut Ukuran Rumpang Pada Areal Bekas Tebangan. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak. Tidak dipublikasikan.
Soemarwoto, Otto, 1997, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Soerianegara, I dan A, Indrawan, 1978, Ekologi Hutan Indonesia, Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diharapkan keritik dan saranya untuk perbaikan blog ini kedepan,terimakasih.