Minggu, 12 Februari 2012

tugas penginderaan jauh

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara penghasil kayu. Data dari Bank Indonesia tahun 1999 menyatakan bahwa ekspor non migas  dari sektor kehutanan menghasilkan devisa negara yang tinggi sebesar 6 miliar dolar AS, yaitu setengah dari hasil ekspor migas. Ekspor kayu unggulan Indonesia adalah ekspor kayu Jati yang memiliki nilai ekonomis tinggi,  sehingga mengakibatkan permintaan akan kayu  Jati terus  meningkat.  Jati merupakan komoditas yang

sangat penting untuk produksi domestik maupun ekspor. Struktur serat yang padat dan kuat yang dimiliki oleh batang pohon Jati menjadikannya sebagai kayu yang memiliki kualitas tinggi dan tahan lama.
Ilmu Botani Eropa yang lebih awal mengenal pohon berharga ini, menempatkan  Jati  sama dengan kayu Eik didasarkan sifat manfaat kegunaannya. Berdasarkan penampakan luarnya, kayu Jati dapat dengan mudah dibedakan  dari jenis  kayu lain terutama kayu dari daerah tropis. Apabila penampang melintangnya dipoles rata akan menampakkan warna bagus dan mengkilat, gelap  coklat,  “kastanye”, memastikan kayu Jati mempunyai sifat stabil/tetap (vast) serta sifat keras. Perbedaan dari kayu yang lain adalah kayu Jati mempunyai batas lingkaran tahun yang tegas (Cordes, 1992).
Pohon Jati menggugurkan daun pada musim kering dan bersemi kembali pada permulaan musim basah.  Pada saat  pohon Jati menggugurkan daun selama tiga hingga lima bulan, peredaran cairan pohon tersebut terhenti. Bagian terluar lapisan kayu  yang terbentuk terakhir menjadi kering dan membentuk jaringan padat. Pada  saat cairan pohon terhenti, citra optik tidak dapat mengidentifikasi pohon Jati. Sensor citra optik menangkap respon spektral yang dipantulkan media, dalam hal ini daun sebagai media, dari  tenaga yang berasal dari matahari. Pada saat pohon Jati menggugurkan daun, tidak ada media yang merespon tenaga dari matahari  untuk ditangkap oleh sensor optik sehingga sensor optik tidak dapat digunakan untuk mengindera pohon Jati pada bulan kering.
Penelitian ini menggunakan citra radar yang  memiliki prinsip berbeda dengan citra optik. Radar adalah sistem penginderaan jauh dengan sensor aktif karena menggunakan  tenaga sendiri sebagai sumbernya. Radar merupakan akronim dari “Radio Detection and Ranging” yang berarti suatu cara untuk mendeteksi dan menentukan jarak dari objek dengan menggunakan gelombang radio. Citra  JERS-1 merupakan salah satu  citra radar yang telah menunjukkan kemampuannya dalam  studi vegetasi diantaranya studi biomassa, volume dan inventarisasi kayu. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penginderaan jauh gelombang mikro JERS-1 dengan sensor aktif yang tidak terpengaruh oleh gangguan atmosfer dikarenakan oleh panjang gelombang yang digunakan. JERS-1 menggunakan instrumen SAR dengan resolusi yang baik yaitu 18 meter, kontras tinggi, dan dapat menunjukkan kenampakan topografi  secara akurat. Keunggulan lain dari JERS-1 disamping meminimalisir gangguan atmosfer adalah kepekaan pada kelembaban yaitu kemampuan dari band L untuk mengidentifikasi konstanta dielektrik objek.
Citra radar pada awalnya digunakan untuk sistem pengintaian kemiliteran yang dapat dioperasikan hampir dalam segala cuaca baik siang maupun malam. Citra radar  pada tahun 1976 digunakan untuk memetakan seluruh Brazil pada proyek Radam (Radar  daerah Amazon), ilmuwan menggunakan mosaik radar sebagai peta dasar. Studi yang dilakukan diantaranya analisis geologi, inventarisasi kayu, lokasi jalur transportasi dan eksplorasi mineral merupakan bidang terapan citra radar yang paling produktif (Lillesand and Kiefer, 2004).  Penelitian ini menggunakan sebagian daerah Kesatuan  Pemangkuan Hutan (KPH) Gundih yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I sebagai daerah penelitian.  KPH Gundih yang memiliki luas  29.050,47 hektar, sebagian besar berada di kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di dalam KPH Gundih terdapat 5 Bagian Hutan (BH) yaitu BH Gundih, BH Kradenan Selatan, BH Monggot, BH Panunggalan, dan BH Sulur. Kelas perusahaan KPH Gundih adalah Jati, Kayu Putih dan Sonokeling.  KPH Gundih memiliki zona  enclave yang terdiri dari 43 desa hutan dengan total populasi diatas 245.000 penduduk.
Penelitian ini menggunakan sebagian daerah Kesatuan  Pemangkuan Hutan (KPH) Gundih yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I sebagai daerah penelitian.  KPH Gundih yang memiliki luas  29.050,47 hektar, sebagian besar berada di kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di dalam KPH Gundih terdapat 5 Bagian Hutan (BH) yaitu BH Gundih, BH Kradenan Selatan, BH Monggot, BH Panunggalan, dan BH Sulur. Kelas perusahaan KPH Gundih adalah Jati, Kayu Putih dan Sonokeling.  KPH Gundih memiliki zona  enclave yang terdiri dari 43 desa hutan dengan total populasi diatas 245.000 penduduk.
BH Sulur terletak pada topografi perbukitan dengan variasi kemiringan lereng dari datar hingga terjal dengan jarak antara kontur tertinggi dengan kontur terendah adalah 175 m. Tanah  yang terdapat disini  mayoritas tandus dan berkapur sehingga sulit ditumbuhi tanaman. Penutup lahan di BH Sulur berupa hutan produksi yang  ditanam secara monokultur dengan jenis  pohon yang ditanam adalah Jati.
1.2. Tujuan
1)    Mengetahui hubungan hamburan balik pada citra  JERS-1 terhadap volume liputan hutan Jati.
2)    Mendapatkan peta Volume Liputan Hutan Jati di BH Sulur, KPH Gundih,Jawa Tengah dari Citra JERS-1.
1.3. Sasaran Citra
1)    Hubungan kelembaban objek dengan nilai hamburan balik JERS-1.
2)    Peta Volume Liputan Hutan Jati di BH Sulur,KPH Gundih,Jawa Tengah dari nilai hamburan balik JERS-1.
3)    Volume liputan hutan Jati di BH Sulur, KPH Gundih,  Jawa Tengah berdasarkan pengukuran lapangan.
4)    Koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (r2) dari volume liputan hutan dengan hamburan balik   JERS-1.
1.4. Manfaat Citra JERS-1
Sebagai bahan pertimbangan peneliti lain dalam rangka penelitian tentang radar terutama citra JERS-1  untuk vegetasi tanpa  menggunakan bantuan dari citra jenis lain.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 2.1.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Hutan
Pada UU 41 Tahun 1999, pasal 1, menyatakan bahwa hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang  kompleks yang terdiri dari pohon, semak, tumbuhan bawah, biota tanah, dan  hewan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber  daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam  persekutuan alam  lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Badan Planologi Kehutanan menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan  untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagi penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global.
Kawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana  Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dengan Tata Guna  Hutan Kesepakatan (TGHK). Penunjukan kawasan hutan mencakup  pula kawasan perairan yang menjadi bagian  dari  Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Kawasan hutan dibagi kedalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut :
    Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
    Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem  penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan  erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
    Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.  Hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
2.1.2. Pohon Jati
Pohon Jati  cocok ditanam di daerah tropis terutama pada tanah yang banyak mengandung kapur. Tanah yang ideal adalah tanah jenis aluvial dengan kisaran pH 4,5 sampai 7. Pohon Jati tumbuh dengan baik jika ditanam di daerah dataran rendah (50 - 80 m dpl) sampai dataran tinggi dengan ketinggian 800 m dpl. Pohon Jati diketahui sangat  tidak tahan dengan kondisi tergenang air, sehingga area pertanaman pohon Jati membutuhkan sistem drainase yang baik. Kisaran curah hujan antara 1.500 - 2.000 mm/tahun .
Pola tanam untuk pohon Jati biasanya dilakukan secara monokultur dengan jarak tanam 2 x 2,5 m. Dalam satu hektar lahan dapat ditanam sebanyak 2.000 tanaman. Apabila diterapkan pola tanam tumpang sari, dengan jarak tanam 3 x 6 m maka dalam satu hektar bisa ditanam 555 pohon. Lubang tanam dibuat berukuran panjang, lebar dan dalam sebesar 60 cm.
Batang pohon Jati tertutup kulit kayu  yang rata, pada umur  yang tua terjadi pengelupasan  kulit. Kayu Jati mengandung cairan berbau keras yang mengandung zat penolak karat yang berupa  cairan berminyak yang  berwarna coklat, tajam yang dikeluarkan oleh pohon Jati tua dan mengisi rongga – rongga sel. Cairan tersebut juga menyebabkan bau asam tajam  pada kayu Jati yang baru ditebang. Sel pembuluh tabung yang lebar dan menyempit  ke dalam, membentuk lingkaran jaringan kayu dan memadat.
Kayu Jati merupakan kayu unggulan yang ditanam di hutan produksi KPH Gundih. Kayu Jati mempunyai nilai tinggi karena memiliki sifat –  sifat yang menonjol namun bagian lain selain batang kayu Jati sedikit sekali manfaatnya. Kayu Jati bersifat sangat stabil (vast) dan memiliki daya beban yang tinggi. Waktu penebangan kayu Jati juga  perlu diperhatikan karena untuk melindungi sifat teknis kayu, ketahanan terhadap kerusakan serta keawetan kayu  tersebut. Perlu dihindari untuk menebang kayu Jati muda, belum masa tebang dan tidak cukup  kering. Kayu yang terkuat  adalah kayu berumur tengahan maka pohon umur periode pertama dan pohon yang terlalu tua mempunyai nilai teknis kurang baik.
2.1.3. Volume Batang
Secara alami, volume  kayu dapat  dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dipakai sebagai dasar penaksiran adalah :
1)    Volume tunggak yaitu volume kayu yang terdiri atas akar dan pangkal pohon sampai ketinggian (tunggak) tertentu. Tinggi tunggak ini bervariasi dari 0,1 – 0,5 m, tetapi sebagian besar diambil 0,3 m. Di daerah berbukit, tinggi tunggak dihitung sama dengan tinggi banir.
2)    Volume kayu batang (Vst) ialah volume  kayu diatas tunggak  sampai permulaan tajuk. Bagian pohon yang menyusun volume  kayu ini adalah batang pokok sampai percabangan yang pertama.
3)    Volume kayu tebal (Vdk) ialah volume kayu diatas tunggak sampai diameter dengan kulit besar 7 cm. Disini tercakup batang pokok dan cabang – cabang besar.
4)    Volume kayu pohon (Vbm) ialah volume kayu yang terdapat di seluruh pohon, mulai dari volume tunggak sampai ujung pohon ranting.
Berbagai macam volume kayu, seperti diterangkan itu dapat dihitung dengan kulit. Volume kayu di Indonesia, pada umumnya dinyatakan tanpa kulit. Secara praktis, kebanyakan volume kayu ditaksir hanya untuk bagian yang laku dijual saja (merchantable volume). Penaksiran volume kayu yang dapat dijual ini,mengacu pada salah satu dari tiga macam  volume kayu alami tersebut, yaitu volume kayu batang, volume kayu tebal atau volume kayu pohon. Jenis volume yang dipilih adalah yang paling dekat dengan ukuran diameter yang dikehendaki oleh pasar (Manual Kehutanan, 1992).
Pada penelitian ini, volume kayu yang digunakan adalah volume kayu batang. Perhitungan volume batang pohon yang tidak tepat silinder diperlukan suatu bilangan bentuk (form factor). Bilangan bentuk adalah suatu faktor reduksi yang  menggambarkan selisih antara volume silinder  dengan volume kayu sebenarnya untuk diameter yang sama.
2.2. Hipotesis
1)    Semakin tinggi hamburan balik JERS-1 maka semakin besar volume liputan pohon Jati.
2)    Estimasi volume liputan hutan Jati berdasarkan citra JERS-1 mempunyai ketelitian yang tinggi yaitu lebih dari 80%.


















BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah tata cara yang dibangun dalam rangka melakukan penelitian. Pada penelitian  ini  diperlukan  data, dan  informasi, klasifikasi dan analisis sebagai berikut:
3.1. Lingkup Penelitian
3.1.1. Wilayah Kajian
Daerah yang menjadi area penelitian adalah sebagian petak hutan KPH Gundih, Jawa Tengah yang berada di BH Sulur yang memiliki luas 3. 078,75 hektar dengan kelas perusahaan Jati berada pada Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. BH Sulur terletak antara 519.365 mT – 528.414 mT dan 9.207.545 mU – 9.197.535  mU Daerah penelitian  yang digunakan bukan diambil dari batas administratif namun ditinjau dari aspek fungsional hutan yaitu dari batas Kesatuan Pemangkuan Hutan Gundih.
3.1.2. Materi Kajian
Dalam penelitian  ini materi kajian diutamakan untuk melakukan estimasi volume dengan cara mengindera kelembaban hutan Jati pada permulaan musim kering berdasarkan nilai hamburan balik dari band L citra JERS-1.  Kajian tidak hanya dititikberatkan pada aspek volume batang namun juga memperhatikan kondisi lingkungan, biofisik wilayah dan karakteristik setiap petak hutan yang dapat mengakibatkan tinggi atau rendahnya nilai piksel.
3.2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan lingkup penelitian ini maka lokasi penelitian hanya berada pada wilayah BH  Sulur, KPH Gundih, Jawa Tengah. Bagian Hutan Sulur merupakan wilayah dengan mayoritas tanaman Jati sehingga dapat meminimalisir terdapatnya objek lain di dalam daerah penelitian. Penelitian ini difokuskan  untuk mengetahui kemampuan  dari JERS-1 untuk membedakan volume liputan objek berdasarkan nilai hamburan baliknya.

3.3.  Bahan dan Alat Penelitian
1)    Citra JERS – 1 SAR band – L di sebagian  propinsi  Jawa Tengah dengan perekaman pada bulan Juli 1998.
2)    Peta Topografi Kabupaten Grobogan dan sekitarnya skala 1 : 50.000
3)    Peta Kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan Gundih, Bagian Daerah Hutan Sulur, Jawa Tengah, skala 1 : 25.000
4)    Sistem Informasi Sumber Daya Hutan dari Biro Perencanaan Perhutani Unit I, Jawa Tengah.
5)    Perangkat keras komputer dengan perangkat lunak ENVI 3.6 dan Arc View 3.2
6)    Transparansi, kertas HVS, kertas kalkir dan Spidol OHP
7)     Peralatan tulis dan gambar
8)    Pita ukur/meteran
9)    Haga meter untuk mengukur tinggi pohon
10)    GPS (Global Positioning System) Garmin III
11)    Kamera
3.4.  Data yang Dikumpulkan
Data dan  informasi yang diperlukan dalam satu penelitian dapat dikumpulkan baik secara teresterial maupun secara interpretatif. Pada penelitian ini sebagian data dikumpulkan secara interpretatif dengan memanfaatkan citra JERS-1 tahun 1998. Data yang dapat dikumpulkan terutama data yang bersifat fisik maupun data hasil aktifitas manusia, yaitu :
1)    Data Iklim meliputi curah hujan rata – rata tahunan.
2)    Data Tanah meliputi jenis tanah
3)    Data Geomorfologi meliputi bentuk lahan, kemiringan lereng dan arah hadap lereng terhadap sensor.
4)    Data Sosial Ekonomi  meliputi bentuk dan pola penggunaan lahan penduduk sekitar BH Sulur atau yang berada dalam zona enclave terhadap hutan Jati.
5)    Data Sistem Informasi Sumber Daya Hutan meliputi kelas umur, pola tanam Jati dan lain – lain
6)    Data Liputan Hutan Jati meliputi umur pohon, kerapatan, tinggi pohon, dan diameter setinggi dada (DBH).
3.5.  Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dalam beberapa cara, yaitu :
1. Intepretasi Citra Satelit
Intepretasi citra dilakukan secara digital dengan perangkat lunak ENVI 3.6. Pengenalan objek harus dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi dengan  referensi lain yang berhubungan dengan objek dan area yang  diteliti untuk mengidentifikasi nilai kelas spektral sebagai objek tertentu
2. Kerja Lapangan
Posisi  sampel dapat  diuji  ketepatannya melalui pengamatan GPS. Melalui pengamatan GPS, penyimpangan posisi dapat  diketahui secara baik sehingga pemetaan obyek dapat  mendekati ketepatan. Adapun data yang tidak dapat diperoleh secara  interpretatif di kumpulkan baik dengan cara pengukuran maupun dengan wawancara. Kegiatan ini selain untuk mengambil data langsung dari lapangan juga untuk membuktikan hasil intepretasi citra.lapangan juga untuk membuktikan hasil intepretasi citra.
3. Dokumentasi
Untuk mendukung data – data hasil penelitian dan sebagai kelengkapan dari penelitian.
4. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel pengamatan diambil secara purposive (purposive sampling). Dasar yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah :
g.  Keseragaman kelas nilai piksel.
h.  Arah hadap sensor
i. Kemiringan lereng
j. Variasi Bonita
k.  Variasi kelas umur tegakan Jati
5.  Pembuatan Basis Data Volume Liputan Hutan
Data - Data volume liputan hutan  di BH Sulur, KPH Gundih, Jawa Tengah disusun dalam bentuk basis data spasial menggunakan perangkat lunak Arc View.
3.6. Teknik Analisis
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dari data penginderaan jauh. Statistik  adalah daftar kenyataan, metode sistematis dalam penyusunan dan  pengambaran data dan akhirnya tentang suatu penarikan kesimpulan umum dari pengamatan khusus. Analisis data yang digunakan adalah  analisis regresi, koefisien korelasi dan koefisien determinasi.
Persamaan regresi memandang distribusi frekwensi satu peubah untuk menggambarkan hubungan antar variabel-variabel yang diuji dengan besar nilai tidak dibatasi oleh peneliti. Koefisien korelasi  (r) digunakan  untuk mengetahui hubungan volume liputan jati dengan nilai hamburan  baliknya pada citra JERS-1 dan  koefisien determinasi (r2) digunakan untuk mengetahui seberapa kuat hubungan tersebut. Dari hasil analisis korelasi  ini dapat dikaji sejauh mana citra JERS-1 band L dapat memberikan informasi volume liputan jati.







BAB IV
ESTIMASI VOLUME LIPUTAN HUTAN JATI DI BH SULUR,
KPH GUNDIH, JAWA TENGAH
4.1.  Deskripsi Wilayah Kajian Estimasi Volume Liputan Hutan Jati di BH Sulur, KPH Gundih, Jawa Tengah
4.1.1. Letak Geografis
KPH Gundih termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah. Pada bagian utara dan barat KPH Gundih berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Ngawi. Pada bagian timur KPH Gundih berbatasan dengan Kabupaten Blora. Wilayah KPH Gundih berada pada jaluryang menghubungkan antara Kota Surakarta dengan Kota Purwodadi. Terdapat 2 waduk yang berada di sekitar KPH Gundih yaitu Waduk Kedung Ombo dan Waduk Suru Kali Serang.
Di dalam KPH Gundih terdapat 5 Bagian Hutan (BH) yaitu BH Gundih, BH Kradenan Selatan, BH Monggot, BH Panunggalan, dan BH Sulur. Kelas perusahaan KPH Gundih adalah Jati, Kayu Putih dan Sonokeling. KPH Gundih memiliki zona  enclave yang terdiri dari 43 desa hutan dengan total populasi diatas 245.000 penduduk. Daerah yang menjadi area penelitian adalah sebagian petak hutan KPH Gundih, Jawa Tengah  yang berada di BH Sulur yang memiliki luas 3.076,299 hektar dengan kelas perusahaan jati. BH Sulur terletak antara 519.365 mT – 528.414 mT dan 9.207.545 mU – 9.197.535 mU Daerah penelitian yang digunakan  bukan diambil dari batas administratif namun ditinjau dari aspek fungsional hutan yaitu dari batas Kesatuan Pemangkuan Hutan Gundih.
4.1.2. Iklim
Iklim merupakan gambaran berbagai kondisi  cuaca sehari – hari atau dikatakan iklim adalah   merupakan rerata cuaca. Unsur – unsur penyusun iklim suatu daerah diantaranya adalah hujan dan temperatur Iklim di daerah KPH Gundih termasuk dalam tipe C menurut Schmidt dan Ferguson yang menggunakan harga perbandingan (Q) dari jumlah rata – rata bulan kering dengan jumlah rata- rata bulan basah. Tipe iklim C memiliki ciri 8 bulan basah dan 3 bulan kering dengan harga 0,333 < Q < 0.600. Curah hujan rata-rata adalah 100 – 350 mm/bulan dengan curah hujan pada bulan kering 37 mm/bulan yang terjadi pada bulan Juni-September (Sutopo, 1989). Periode hujan umumnya dimulai pada bulan Oktober atau November dan berakhir pada bulan April atau Mei. Periode kering terjadi pada bulan – bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Pada bulan – bulan tertentu terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi. Curah hujan  dengan intensitas yang tinggi umumnya terjadi pada bulan Nopember, Desember dan Januari.

Tabel 4.1. Stasiun penakar Hujan KPH Gundih dan Sekitarnya
No. Stasiun    Nama Stasiun Hujan    No. Stasiun    Nama Stasiun Hujan
10085A    Macanan    10201         Pengkol
10088A    Cepoko    10202          Sedadi
10131    Panunggalan    10207          Geyer
10133    Godong    10213                 Tawangharjo
10135    Kepoh    10214       Pulokulon
10187    Kramat    10214A          Pojok
10196    Brati    10215A         Kalisari
10197    Grobogan    10217    Simo WD
10198    Wolo    10220    Ngaringan
10200    Wedoro    10222                 Segorogunung
Sumber : Data Stasiun Hujan Jawa Tengah, 1998
Berdasar dari iklim pada KPH  Gundih, daerah tersebut sangat cocok untuk budidaya tanaman tahunan atau tanaman semusim yang memiliki ketahanan  terhadap iklim kering.  Tanaman tahunan yang dibudidayakan di daerah ini adalah tanaman Jati, Mahoni dan Sonokeling sedangkan untuk tanaman semusim berupa tanaman palawija yang tahan pada kondisi kering dan untuk tanaman industrin dibudidayakan tanaman kayu putih. Tanaman Jati akan menghasilkan kualitas yang baik jika  dibudidayakan di daerah kering dan berkapur karena akan menghasilkan kayu yang keras dan tahan lama. Untuk mengetahui iklim dan cuaca yang ada di daerah KPH  Gundih pada waktu perekaman citra JERS-1 dapat  diketahui dari beberapa stasiun hujan yang terletak pada daerah KPH Gundih itu sendiri  maupun yang terletak  di sekitar  lokasi KPH. Stasiun – stasiun hujan tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.1.
4.1.3. Geologi
Di bagian utara daerah penelitian merupakan dataran yang menempati lembah antara dua jalur perbukitan yaitu Perbukitan Kendeng Utara (Perbukitan Rembang) dan Perbukitan Kendeng Selatan (Perbukitan Kendeng). Dataran ini merupakan bagian dari jalur dataran alluvial yang memanjang dari Purwodadi hingga Ngimbang Lamongan. Dataran ini berstruktur sinklinal. Dibagian selatan termasuk bagian perbukitan Kendeng yang merupakan antiklin.
Menurut Pannekoek (1949) daerah penelitian termasuk zone utara, zone ini mempunyai lapisan Neogen Muda yang lebih tebal dibandingkan dengan zone lain. Lapisan Neogen muda ini adalah inti dari geosinklin muda. Proses perlipatan terjadi sejak periode  Miosen Atas dan dibeberapa tempat sampai Miosen Tengah. Selama periode Plistosen Tengah dihasilkan orogenesis dari lipatan yang kuat sehingga menimbulkan lipatan terbalik. Hampir di seluruh wilayah daerah penelitian disusun oleh sedimen klastis terutama Marl, di beberapa tempat dijumpai batu gamping koral sehingga berkembang topografi karst
    Selama Periode Miosen Akhir hingga Pliosen Awal dijumpai Formasi Kalibeng. Formasi ini hampir seluruh daerah penelitian yaitu dibagian yang turun dari sesar yang naik dan menurun  hingga menjadi lapisan dasar dari daratan alluvial Sungai Lusi. Formasi ini terdiri dari napal pejal dan dibawahnya dijumpai napal bersisipan dengan batu pasir tufaan.
4.1.4. Geomorfologi
Fisiografi daerah penelitian terdiri dari dua zone yaitu zone lipatan dan dataran alluvial (Van Bemmelen, 1970). Zone  lipatan merupakan daerah yang terdiri dari bukit – bukit yang rendah  atau terjadi pengangkatan pada suatu punggungan karena sifat dari batuan penyusunnya yang keras. Punggungan ini membentuk kenampakan yang datar di bagian atas dan hampir sejajar dengan punggungan yang lain  sehingga membentuk jalur yang mengikuti jurus dari lipatan.
Karakteristik wilayah BH Sulur secara umum  memiliki topografi datar, berombak dan berombak-bergelombang dengan panjang lereng yang relatif pendek. Variasi  kemiringan lereng  dari 0% – 15% dan merupakan bagian dari fisiografi perbukitan lipatan. Pada daerah penelitian terdapat tiga satuan bentuk lahan yaitu  bentuk lahan asal struktural, bentuk lahan asal denudasional, dan bentuk lahan asal fluvial.
4.1.5. Tanah
Menurut Peta Tanah kabupaten Grobogan skala 1 :  250.000, areal kesatuan Pemangkuan hutan Gundih didominasi oleh  jenis tanah  Grumusol (margalit). Jenis tanah  ini mempunyai sifat mudah tererosi dan longsor. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jenis tanah di wilayah KPH Gundih mempunyai kandungan butir halus cukup  banyak (lebih dari 50%) yang terdiri dari liat (clay) dan debu (silt).  Jenis tanah Grumusol tersebut mempunyai sifat sangat keras pada keadaan kering dengan daya dukung yang tinggi, tetapi pada kadar air yang tinggi (keadaan basah) daya dukung menurun drastis. Jenis tanah ini memiliki posrositas tanah agak tinggi,  karena memiliki pori – pori makro /rongga yang dominan. Fraksi pasir memiliki diameter antara 2 mm – 0,05 mm, berbentuk agak bulat, tak beraturan dan sedikit lengket jika basah.
Jenis  tanah lain yang juga terdapat pada daerah penelitian adalah asosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat keabuan, serta kompleks Regosol kelabu dan Grumusol kelabu tua dengan bahan induk batu kapur dan napal. 
4.1.6. Hidrologi
Di KPH Gundih terdapat tiga buah sungai induk yaitu Sungai Serang, Sungai Lusi dan Sungai Wulung. Aliran Sungai Serang mengarah ke utara, dan Sungai Lusi mengalir ke arah barat dan bertemu dengan Sungai Serang di bagian barat laut dan selanjutnya menuju ke Laut Jawa sedangkan arah aliran Sungai Wulung menuju ke timur lalu sedikit condong ke arah selatan.
Pada daerah penelitian ini terdapat beberapa anak sungai yang melintasi daerah penelitian yaitu terletak di bagian timur  dan tenggara daerah penelitian yang merupakan cabang dari Sungai Wulung dan di bagian utara yang merupakan bagian dari Sungai Lusi. Dilihat  dari keberadaan airnya, Sungai Serang, Sungai Lusi dan Sungai Wulung memiliki konsistensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan sungai – sungai lainnya. Pada musim kemarau Sungai Serang, Sungai Lusi dan Sungai Wulung masih mengeluarkan air  walaupun debitnya kecil apabila dibandingkan dengan waktu musim hujan. Pada musim hujan ketiga sungai ini memiliki debit air yang tinggi sehingga dapat menyebabkan genangan pada daerah tertentu. Untuk anak sungai kondisi airnya sangat tergantung pada musim sehingga sering dijumpai sungai yang kering pada musim kemarau.
4.1.7. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan dapat diartikan sebagai segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklis terhadap suatu kumpulan sumberdaya buatan yang secara  keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan – kebutuhannya baik kebendaan maupun spiritual ataupun kedua – duanya (Malingreau, 1978).
Istilah penggunaan lahan biasanya digunakan dalam pengertian penggunaan lahan masa kini (present or current land use), oleh karena aktivitas manusia di bumi ini  sama sekali tidak statis, maka perhatian  seringkali ditujukan  baik pada  perubahan – perubahan penggunaan lahan   (secara kuantitatif maupun secara kualitatif)
Secara garis besar penggunaan lahan di daerah penelitian merupakan daerah hutan dengan tanaman  hutan yang dibudidayakan dan tanaman konservasi yaitu jati, kayu putih dan sonokeling. Khusus untuk daerah penelitian yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan Gundih, Bagian Daerah Hutan Sulur memiliki Kelas Perusahaan Jati sehingga pengusahaan daerah tersebut didominasi oleh tanaman jati yaitu seluas 2856,655 Ha (92,86%). Sebagian kecil dari Bagian Daerah Hutan Sulur digunakan untuk tanaman mahoni sebesar 164,145 Ha (5,34%) dan zona enclave sebesar 55,499 (1,80%). Daerah diluar hutan digunakan  untuk permukiman, sawah, tegalan, kebun campuran, pasar, lahan kosong, perkantoran dan industri.
4.1.8. Aksesibilitas
Aksessibilitas sangat berkaitan dengan kondisi lalulintas dan kondisi jalan. Kondisi lalu lintas digambarkan dari frekwensi dan kepadatan kendaraan. Kepadatan kendaraan pada ruas jalan ditimbulkan oleh beberapa hal antara lain kondisi lebar tubuh jalan, jumlah pemakai jalan, pengaturan lalu lintas dan ketertiban dari pemakai jalan.
Fasilitas jalan yang terdapat di KPH Gundih adalah jalan utama yang menghubungkan antara Kota Surakarta dan Kota Purwodadi serta jalan aspal lainnya yang merupakan jalan penghubung antar kecamatan, sedangkan untuk jalan yang menghubungkan antara hutan dengan jalan utama berupa jalan aspal, jalan dengan perkerasan tapak roda serta jalan setapak ( jalan tanah) Selain sarana jalan untuk kendaraan bermotor, di wilayah KPH Gundih juga dilalui jalan kereta api yang digunakan untuk sarana transportasi umum dan jalan lori yang melintasi hutan.
Prasarana jalan mobil untuk menunjang pengelolaan hutan pada daerah KPH Gundih adalah sepanjang 105,365 km dengan perkerasan penuh dan 8,45 km dengan perkerasan tapak roda. Disamping itu  ada  jalan alur  sekaligus merupakan batas petak yang dapat digunakan untuk jalan angkutan pada musim kemarau yaitu pada saat dilakukan tebang habis pada petak yang bersangkutan.
Pada daerah penelitian yaitu Bagian Daerah Hutan Sulur, panjang jalan dengan pengerasan penuh yang melintas yaitu sepanjang 2,272  km, jalan setapak sepanjang  33,802 km dan jalan lori sepanjang 6,183 km. Bagian Daerah Hutan Sulur merupakan daerah perbukitan dengan dominasi aksesibilitas berupa jalan setapak dengan lebar jalan rata – rata 2 meter dengan variasi yang berbeda –beda pada tiap wilayah.
4.2.  Estimasi Volume Liputan Hutan Jati
Perhitungan untuk estimasi liputan dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi dengan x sebagai variabel volume liputan yang akan dicari dan y sebagai variabel nilai hamburan balik yang diketahui. Setiap piksel pada citra JERS-1 akan  memiliki nilai kecerahan. Nilai  kecerahan tersebut ditransformasikan dalam persamaan regresi sehingga setiap nilai piksel pada citra JERS-1 menghasilkan volume liputan dan setiap nilai piksel yang berbeda akan menghasilkan volume liputan yang berbeda.




Tabel 4. 2.  Kelas Volume Liputan Hutan Jati
No.    Kelas Volume    Luas Total ( Ha )    Volume Total (m3 )    Volume Rata-rata (m3 /Ha)
1    Rendah    641,48    36.180.044,34    56.383,14
2    Agak Rendah    499,80    78.068.974,27    156.199,68
3    Sedang    665,56    146.636.240,84    220.319,83
4    Agak Tinggi    584,30    166.374.712,45    284.741,16
5    Tinggi    687,40    261.907.000,84    381.011,94
Jumlah    3078,75    689.166.972,74    1.098.655,75
Rata-rata    615,75    137.833.394,55    223.846,71
Sumber : Pengolahan Citra Digital JERS-1 waktu perekaman 20 Juli 1998
Pada perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi tersebut juga menghasilkan beberapa nilai dengan volume negatif. Volume negatif akan dianggap sebagai volume nol atau area yang belum menghasilkan sehingga penjumlahan hanya dilakukan pada area dengan volume positif.
Dari perhitungan estimasi liputan  hutan Jati  diperoleh luas total yang dinyatakan dalam satuan hektar dan volume total yang dinyatakan dalam satuan meter kubik dari tiap kelas volume.  Dari tabel dapat diketahui luas total, volume total dan volume rata – rata setiap kelas volume. Volume rata – rata diperoleh dari perbandingan antara volume total dalam meter kubik dengan luas area dalam hektar. Total volume liputan dari keseluruhan luas wilayah yaitu 3078,75 hektar adalah 689.166.972,74 meter kubik kayu Jati.
4.2.1.  Liputan Hutan Jati Volume Rendah
Beragamnya volume dari hutan Jati akan  sangat mempengaruhi nilai hamburan  balik radar terutama dari faktor panjang gelombang  yaitu saluran (band) L yang mampu menembus sebagian besar kanopi tergantung dari kadar kelembabannya sehingga yang perlu diperhatikan disini adalah faktor kelembaban dari vegetasi yang sangat berperan dalam menghamburkan kembali sinyal dari citra radar. Selain kelembaban, kerapatan juga sangat penting hubungannya dalam hal tinggi rendahnya hamburan yang akan kembali ke sensor.







Titik Sampel 18
Koordinat 525.310,73mT;  9.204.166,72 mU
Gambar 4.1.  Kenampakan Hutan Jati dengan Volume Rendah pada Citra JERS-1 dengan Kondisi di Lapangan.
Piksel – piksel yang berada di kelas pertama menempati 23.059 % dari keseluruhan luas wilayah. Liputan hutan dengan volume rendah ini sebagian besar berada pada kelas hutan pada kelompok umur 1  dan beberapa pada kelompok umur 2 dan  3. Pada kelompok umur 1, tajuk pohon tidak lebar dan diameter batang tidak besar yaitu antara 10 cm hingga 67 cm. Diameter batang dengan frekwensi paling tinggi berada diantara 20 cm hingga 28 cm. Diameter batang berukuran lebih dari 50 cm hanya ditemukan beberapa batang diantaranya dengan tajuk yang kecil dan diameter yang tidak  besar kelompok umur ini memiliki kelebihan pada kerapatan yang tinggi yaitu berada antara 0,53 % hingga 0,86 %.
Liputan hutan Jati dengan volume rendah pada citra JERS-1 ditunjukkan dengan rona gelap atau warna hitam dengan nilai kecerahan berada di antara nilai minimum 0 hingga nilai maksimum 90 dengan nilai rata – rata piksel adalah 54,6. Pada citra JERS-1, rona liputan hutan Jati bervolume rendah akan tampak gelap atau sangat gelap hal ini  dikarenakan sangat sedikitnya sinyal yang dikembalikan ke sensor.
Sedikitnya sinyal yang kembali ke sensor diakibatkan  oleh diameter batang yang kecil dan sedikitnya tajuk yang menutupi. Kondisi tanah yang kering dan berkapur mendukung pada minimnya hamburan balik. Iklim yang berada pada kondisi mendekati bulan kering dan porositas tanah agak tinggi mengakibatkan sinyal radar yang mengenai tanah akan  diteruskan  dan bukan dihamburkan kembali. Jenis tanah tersebut mudah meresapkan  air karena memiliki rongga / pori – pori makro yang dominan, hal ini mengakibatkan nilai hamburannya kecil. Kondisi ini dapat diamati pada gambar 4.1.
4.2.2.  Liputan Hutan Jati Volume Agak Rendah
Liputan hutan Jati dengan volume agak rendah pada citra JERS-1 tampak dengan rona kelabu – hitam, menunjukkan ada sedikit hamburan yang kembali pada sensor. Warna kelabu – hitam pada kelas kedua  ini bernilai  kecerahan dengan nilai 92 hingga 120 dengan rata – rata nilai 106, 78. Tekstur liputan hutan tampak agak kasar dikarenakan julat kecerahan yang ditampilkan tidak terlalu lebar.
Gambar 4.2. menunjukkan bahwa pada kenampakan liputan hutan Jati bervolume agak rendah didominasi oleh kelompok umur dua dan tiga yaitu pohon Jati berumur 21 hingga 30 tahun. Pada kenampakan di lapangan tampak bahwa sinyal yang  diteruskan  oleh kanopi tidak langsung mengenai permukaan tanah namun ada filter berupa semak belukar (shrub layer) atau tanaman herba (herb layer). Dampak dari  adanya lapisan - lapisan tersebut maka  air hujan yang mengenai tanah tidak   langsung  diserap namun beberapa masih tersimpan  sebagai lengas tanah (soil moisture) yang mengisi sebagian atau seluruh pori – pori tanah yang berada di atas permukaan air  tanah dangkal. Tinggi rendahnya lengas tanah dipengaruhi oleh  banyak atau sedikitnya vegetasi yang berada diatas tanah. Semakin banyak vegetasi yang berada di atas tanah maka semakin lembab tanah. Nilai hamburan balik yang agak tinggi menandakan bahwa setidaknya ada sedikit kelembaban pada tanah dan ditambah dengan hamburan balik dari batang pohon.










Titik Sampel 12
Koordinat 525.106,44mT;  9.202.272,41 mU
Gambar 4.2.  Kenampakan Hutan Jati dengan Volume Agak Rendah pada Citra JERS-1 dengan Kondisi di Lapangan
Diameter batang pohon pada daerah liputan  hutan Jati dengan volume agak rendah berada di antara 33 cm hingga 68 cm dengan frekwensi diameter batang terbesar berada di antara diameter 35 cm hingga 40 cm. Kerapatan pohon berada di antara 0,58 %  hingga 1,25 %,  pada diameter tersebut kelembaban batang dapat ditangkap oleh sinyal radar karena sifat dari kayu Jati yang mulai menyimpan kelembaban pada kondisi iklim menjelang bulan kering.
4.2.3.  Liputan Hutan Jati Volume Sedang
Pada liputan hutan Jati dengan volume sedang seperti  terlihat pada Gambar 4.3., kelompok umur Jati yang menempati wilayah ini dominan berada pada kelompok umur 4 dan 3  serta sebagian kecil berkelompok umur lain. Liputan hutan Jati dengan bervolume sedang ini menempati 18,219 % dari keseluruhan luas wilayah. Diameter batang berada pada kisaran  33 cm hingga 68 cm dengan dominasi diameter berada pada diameter 40 cm. Kerapatan hutan berada pada kisaran 0,36 % hingga 1,5 %. Pada volume sedang, percabangan mulai melebar dan tajuk merapat, rumput dan semak hampir menutupi seluruh wilayah.







Titik Sampel 14
Koordinat 526.165,02 mT;  9.201.288,12 mU
Gambar 4.3.  Kenampakan Hutan Jatidengan Volume Sedang pada Citra JERS-1 dengan Kondisi di Lapangan.
Gelombang radar menginteraksi vegetasi, dalam hal ini adalah Jati, secara keseluruhan sehingga hamburannya bersifat volumetrik. Bagian dari vegetasi seperti daun, ranting, batang, akar akan memberi sumbangan pada hamburan balik radar, ditambah dengan keadaan tanah, rerumputan dan semak yang terdapat pada liputan hutan Jati ini akan berpengaruh. Apabila vegetasi berada di atas tanah  yang sangat kering, tanah tersebut akan menetralkan hamburan balik. Pada wilayah liputan hutan Jati dengan volume sedang tanah memiliki nilai karena adanya lengas tanah yang lebih besar dari liputan volume hutan agak rendah yaitu adanya semak yang lebih rapat. Suasana hutan rindang dan sejuk, menandakan kelembaban udara mulai meninggi. Pada vegetasi yang rapat akan lebih banyak tenaga yang akan dikembalikan ke sensor.
Kenampakan pada citra JERS-1, daerah liputan hutan Jati dengan volume sedang memiliki rona kelabu dengan nilai minimum bernilai 122 dan nilai maksimum  148 serta rata – rata nilai 135,35. Tekstur citra di wilayah liputan hutan Jati ini tampak halus hal ini menandakan bahwa hasil klasifikasi liputan hutan bervolume sedang memiliki banyak nilai – nilai yang berdekatan.

4.2.4.  Liputan Hutan Jati Volume Agak Tinggi
Liputan hutan Jati dengan volume agak tinggi menempati 18,205 % dari seluruh luasan area penelitian. Hutan Jati dengan volume agak tinggi, memiliki diameter batang yang besar dengan tajuk rapat. Sulit untuk  melakukan pengukuran di daerah ini karena daerah ini memiliki semak – semak yang tinggi dan lebih heterogen serta rerumputan hingga sulit untuk  berjalan. Kerapatan pohon berada pada kisaran 0,3 hingga 4 m / ha.
Liputan hutan seperti pada Gambar 4.4.  memiliki nilai kecerahan minimum 150 dan nilai kecerahan maksimum 177 dengan nilai rata – rata 163,34. Pada citra JERS-1, liputan hutan ini tampak dengan warna kelabu – putih dan rona cerah. Besarnya nilai rata – rata hamburan balik dikarenakan oleh tinggi pohon, tebal kanopi, besar diameter batang, banyaknya rumput dan semak serta tingginya lengas tanah, mengakibatkan tingginya hamburan dari objek ke sensor. Diameter batang Jati pada volume liputan hutan Jati agak tinggi lebih besar apabila dibandingkan dengan diameter batang pada volume liputan hutan tinggi, sehingga hamburan sinyal dari satuan pohon akan lebih besar.







Titik Sampel 9
Koordinat 524.530,72 mT;  9.200.155,25 mU
Gambar 4.4.  Kenampakan Hutan Jati dengan Volume Agak Tinggi pada Citra JERS-1 dengan Kondisi di Lapangan.
Umur tanaman Jati yang berada pada kelompok hutan Jati dengan volume agak tinggi berada di antara 45 hingga 70 tahun. Pada umur Jati tersebut diameter batang telahmencapai minimal 35 cm hingga 70 cm. Tajuk yang rapat melindungi  tanaman dan lengas tanah yang ada di bawahnya. Kelas umur 7 merupakan kelas umur tertinggi yang berada di BH Sulur, KPH  Gundih dan memiliki diameter batang terbesar berada pada kelas volume agak tinggi.
4.2.5.  Liputan Hutan Jati Volume Tinggi
Pada liputan hutan Jati dengan volume tinggi seperti terlihat pada Gambar 4.5, kerapatan pohon berada di antara 0,9 % hingga 1,45%. Diameter batang minimum mencapai 35 cm dan diameter maksimum 55 cm. Luas liputan hutan berada pada luasan tertinggi yaitu 23,960 %. Kelas umur pada liputan hutan Jati dengan volume tinggi didominasi oleh kelompok umur tengahan yaitu kelompok umur 4 dan 5 yang memiliki kisaran umur 30 hingga 50 tahun. 
Semak, belukar dan rumput yang menutupi tanah tumbuh dengan rapat. Percabangan yang  menutupi sela – sela pohon dengan puncaknya berupa kanopi yang saling menutup, yang mengakibatkan tingginya hamburan balik. Hamburan balik di wilayah ini bernilai minimum 180 dan maksimum 255 dengan rata- rata nilai 210,17.







Titik Sampel 10
Koordinat 525.310,73 mT;  9.200.322,40 mU
Gambar 4.5.  Kenampakan Hutan Jati dengan Volume Tinggi pada Citra JERS-1 dengKondisi di Lapangan.
Tingginya nilai hamburan balik tidak hanya disebabkan  oleh diameter batang namun juga disebabkan oleh faktor  lingkungan. Kelas umur 7 memiliki diameter batang lebih besar namun termasuk dalam liputan hutan Jati bervolume agak tinggi dan bukan bervolume tinggi, yang disebabkan oleh faktor kerapatan pohon. Lebih tingginya nilai hamburan pada  volume liputan hutan Jati tinggi daripada nilai hamburan pada volume liputan hutan Jati volume agak tinggi diakibatkan lebih tingginya kerapatan hutan sehingga lebih  tingginya hamburan diakibatkan  oleh kelompok pohon  dan bukan  pohon Jati  secara satuan. Pada kelas umur  Jati 5, kerapatan lebih  besar daripada kelas umur Jati 7  sehingga intensitas hamburan akan lebih besar dengan kapasitas hamburan hampir sama dalam satu satuan wilayah karena homogenitas objek. Semak belukar dan rumput juga membawa andil dalam menjaga lengas tanah sehingga sinyal radar yang mencapai tanah tidak diteruskan namun dihamburkan kembali.
Pada citra JERS-1 kenampakan hutan volume tinggi tampak dengan warna putih – kelabu hingga putih dan rona sangat cerah. Tekstur liputan hutan pada citra tampak halus, menandakan jarak tanam yang teratur dengan diameter seragam dan didukung  oleh faktor lingkungan tumbuh yang baik serta adanya layer rumput dan semak yang lebat.
4.3.  Peta Estimasi Volume Liputan Hutan Jati
Peta Estimasi Volume Liputan Hutan Jati diperoleh dari hasil  klasifikasi secara tak terselia dan yang ditumpangsusunkan dengan Peta Batas Hutan Sulur agar daerah yang bukan merupakan hutan Jati dapat dihilangkan. Penggunaan lahan di luar kawasan hutan adalah permukiman, ladang, sawah dan semak belukar  sedangkan penggunaan lahan di dalam kawasan hutan adalah hutan Jati, hutan mahoni dan zona  enclave. Pada zona  enclave digunakan sebagai area permukiman dan ladang oleh penduduk lokal. Penghilangan bagian yang bukan penggunaan lahan hutan Jati dimaksudkan untuk menjaga agar tidak ada informasi di luar Jati yang tidak sengaja tersadap dalam  perhitungan. Estimasi volume liputan tidak dilakukan pada seluruh penggunaan lahan namun hanya penggunaan lahan Jati.
Penyadapan data awal berasal dari peta kawasan hutan Jati dengan mengambil informasi setiap anak petak hutan berupa jenis tanaman yang tumbuh di kawasan tersebut. Dari data jenis dan nama anak petak dapat diperoleh tinggi, volume batang dan kerapatan pohon pada tahun 1998  dengan data Sistem Informasi Sumber Daya Hutan (SISDH) tahun 2000 sebagai data acuan awal. Volume hutan juga diperoleh berdasarkan citra JERS-1 dengan klasifikasi tak terselia. Pengambilan sampel didasarkan pada peta volume hasil klasifikasi dari citra JERS-1 dan hasil klasifikasi dari data SISDH yang kemudian dicek kebenarannya di lapangan. Setelah data sampel terkumpul, dilakukan penghitungan mundur sampel sebelum dilakukan pengolahan data. Penghitungan umur dilakukan karena jarak tahun perekaman citra dengan tahun pengambilan sampel berjarak 7 tahun yaitu 1998 dengan 2005. Data yang mengalami penghitungan mundur adalah data umur, tinggi, DBH dan kerapatan. Perhitungan mundur dilakukan dengan cara membandingkan 2 objek. Data yang diubah adalah data tinggi dengan DBH. Data kerapatan  tidak berubah kerena kerapatan baru akan berubah setelah melewati 1 masa penjarangan  yaitu 10 tahun dan penjarangan terakhir dilakukan sebelum pendataan ulang data SISDH yaitu sekitar tahun 1997 -1998. Hasil dari penghitungan mundur ini terdapat beberapa perubahan pada nilai volume namun tidak mengalami perubahan padahasil klasifikasi karena hasil klasifikasi  lebih didasarkan pada citra JERS-1sedangkan data lapangan dan SISDH merupakan data atribut.
Uji ketelitian yang menunjukkan ketelitian lebih atau sama dengan 85% menandakan penelitian dapat diteruskan sedangkan jika kurang dari 85% harus kembali kerja lapangan. Data hasil laboratorium yang telah mengalami pengecekan di lapangan lalu dilakukan reintepretasi. Dari hasil reintepretasi akan dihasilkan besaran volume baru pada poligon yang terkoreksi. Uji korelasi - regresi dilakukan setelah reintepretasi untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu nilai hamburan balik dengan volume di lapangan.
Nilai uji  korelasi dan determinasi menunjukkan bahwa nilai hamburan balik  JERS-1 dengan volume liputan hutan  Jati memiliki hubungan positif yaitu 95% dan 90%. Nilai ini membuktikan bahwa 95% dari  nilai hamburan balik dipengaruhi oleh volume liputan sedangkan  sisanya dapat dipengaruhi oleh topografi, iklim atau jenis semak dan belukar yang melatarbelakangi. Persamaan regresi akan menghasilkan volume tiap nilai piksel pada citra. Peta Volume Liputan Hutan. Peta dihasilkan setelah perhitungan volume tiap kelas liputan hutan. Perhitungan volume liputan tersebut akan dihasilkan rentang atau julat volume setiap kelas volume sebagai informasi yang diperlukan pada Peta Volume Liputan Hutan Jati dengan menggunakan citra JERS-1.
Dari hasil pengkelasan  (lihat Peta Volume Liputan Hutan  Jati BH Sulur, KPH Gundih), menunjukkan bahwa  kelas volume tinggi menempati area terluas pada Bagian Hutan Sulur, Kesatuan Pemangkuan Hutan Gundih yaitu 687,40 hektar, diikuti kelas volume sedang dengan luas 665,56 hektar, kelas volume rendah dengan luas 641,68 hektar, kelas volume agak tinggi dengan luas 584,30 hektar, dan kelas volume agak rendah dengan luas 499,80 hektar. Perbedaan luasan hutan untuk tiap kelas volume tidak tampak mencolok, hal ini dikarenakan oleh pengaturan luasan tebangan oleh Perhutani. Setiap tahun dilakukan penebangan pada pohon Jati tua yang dianggap telah siap tebang di wilayah tertentu sehingga perlu diadakan pengaturan agar terjadi  keseimbangan pada tiap kelas volume.















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1)    Koreksi radiometrik dengan menggunakan Normalized Radar Cross Section (NRCS) mampu menurunkan kontras yang terlalu besar (terdapatnya nilai – nilai ekstrim) pada citra, tampak pada turunnya standar deviasi yang semula 3465,55  menjadi  3,26.
2)    Penajaman kontras dapat menonjolkan variasi objek menjadi lebih detil.
3)    Klasifikasi Tak Terselia mengelompokkan objek berdasarkan nilai hamburan balik dan mampu menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai  hamburan balik JERS-1 maka semakin besar volume liputan hutannya.
4)    Estimasi Liputan Hutan Jati dengan menggunakan citra JERS-1 memiliki keakuratan yang tinggi yaitu 85%.
5)    Terdapat hubungan linear positif antara hamburan balik pada citra JERS-1 dengan volume liputan hutan Jati. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi 0,95 dan nilai koefisien determinasi 0,90. Maka,  setiap peningkatan nilai hamburan balik  pada citra  JERS-1 akan diikuti dengan peningkatan volume liputan hutan Jati.
6)    Terdapat faktor – faktor di luar volume liputan hutan yang juga mempengaruhi besarnya nilai hamburan balik yaitu faktor kelembaban objek dan lereng.
5.2. Saran
1)    Secara umum penelitian ini dapat ditingkatkan dengan melakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan koreksi lereng dan memperhatikan kelembaban objek agar hasil yang diperoleh dapat lebih baik lagi.
2)    Perlu adanya studi lebih lanjut yang menggabungkan antara bentuk  lahan  dengan liputan vegetasi (fitogeomorfologi)
3)    Penggunaan citra bantu dan peta – peta pendukung dapat meningkatkan hasil  koreksi citra dan  intepretasi  sehingga dapat meningkatkan  kedetilan informasi yang terkandung di dalamnya.



















BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2010.Estimasi+Liputan+Hutan+Jati+Menggunakan+Citra+JERS1+di+BH+Sulur%2C+
                       KPH+Gundih.http://www.google.co.id/ (diakses tanggal 13 Desember 2010)


1 komentar:

  1. Maaf, saya menyadur makalah saudara untuk menyelasikan tugas ekologi hutan.
    Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak atas tulisannya.

    BalasHapus

Diharapkan keritik dan saranya untuk perbaikan blog ini kedepan,terimakasih.